Perkembangan Paham Asy’ariyah


2.2 Sejarah Perkembangan Paham Asy’ariyah
            Asy-ariah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir sepuluh abad. Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada, walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1½ abad. Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis, yang diwakili khususnya oleh Mutazilah, akan tetapi kadang juga melawan naqliyin (tekstualis) yang diwakili oleh salaf ekstrim dari kalangan Hanabilan dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran aliran ini bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi negara di dunia Sunni, yang dalam rangka itu ia ditopang oleh kondisi sosial-politik.
Para imam mereka secara umum berlomba menjelaskan pendapat-pendapat aliran ini dan menyebarkan misinya di sepanjang zaman. Antar sesama mereka tidak mengalami perbedaan pendapat seperti yang melanda Mu’tazilah. Berbeda dengan paham qadariah yang dianut kaum Mutazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan, dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka Mu’tazilah yang menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran mereka, Ajaran yang ditonjolkan menjelaskan bahwa ‘inguisisi bahwa Al-Qur’an adalah makhluk merupakan titik yang jelas-jelas mengubah sejarah kehidupan pemikiran dan akidah dalam islam, karena hal ini mengobarkan rasa benci dan marah dalam jiwa kaum muslimin dan mengukuhkan kecenderungan salaf untuk menghadapi gelombang rasionalis ekstrim.
Gerakan pemikiran bebas tersebut yang diterima oleh banyak analisis, tidak hanya di Basrah dan Bagdad saja, tetapi juga di sebagian ibukota negara islam, bahkan menggema menembus Andalusia. Al-Ma’mun seorang khlifah pada masa itu menjadikan ajaran tersebut sebagai akidah resmi negara dan menjadikan topik bahwa Al-Qur’an tidak bersifat Qadim tetapi baru dan makhluk dan menjelaskan apabila Qur’an itu Qadim maka mereka telah menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan berarti syirik dan syirik adalah dosa besar dan tak dapat diampuni oleh tuhan.
Kaum Muislimin menghabiskan hampir setengah dalam keguncangan pemikiran, perdebatan berkelanjutan, cobaan sebagai imam dan tokoh pemikiran dimana sebagian dari mereka harus berurusan dengan penjara, disiksa bahkan dibunuh karena menentang bahwa al-Qur’an bukan makhluk dan Allah tidak memiliki sifat. Pahlawan dalam menghadapi mihnah (bencana) tersebut adalah Ahmad bin Hanbal yang tidak sudi mendukung pendapat penguasa, atau tidak sudi memegangi taqiah dalam masalah-masalah akidah, karena ia berpendapat “Jika seorang alim mengiakan taqiah, sedangkan orang bodoh dengan kebodohan, lantas kapan kebenaran akan tampak”.[3] 
Badai baru mulai reda setelah Al-Mutawakkil memegang kekuasaan pada tahun 232 H, dan mulai mengambil sikap hati-hati dan bijak. Pada tahun 237 H, ia berhasil menginstruksikan untuk menghentikan pertarungan ini. Jiwa yang berontak kini mulai tenang. Para pendukung salaf merasa bahwa pendapat mereka mendapat dukungan resmi, di samping pendapat umum. Dengan peran yang ada mereka bersikap ekstrim, melebihi Mutazilah mendukung kejumudan dan konservatif, karena mereka mereka bersikap ekstrim dalam pendapat- pendapat mereka dan memegangi makna lahir dari nas (teks-teks agama). Yang paling ekstrim diantara mereka adalah Hanabilah yang kini mempunyai pengaruh besar di Baghdad pada tahun terakhir abad ke-3 H.

Di samping kelompok Hanabilah yang amat ekstrim adalah kelompok Karamiah pengikut Muhammad bin Karam yang mengetengahkan Mu’tazilah, nampak ia tak terseret oleh ekstrimitas Mutazilah dan salaf, Ia hendak berdiri ditengah di antara kedua aliran tersebut. Sehingga dikenal dengan Al-Asy’ariah. Aliran ini ia dirikan berlandaskan pada asas perpaduan antara kaum Salaf dengan Mutazilah, Sebagai bukti, problematika sifat-sifat Tuhan dengan perpaduan nampak begitu jelas, Di satu pihak sependapat dengan kaum salaf, ia meneguhkan sifat-sifat Tuhan, sedangkan pada posisi lain, sependapt dengan kaum Mutazilah, Al-Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat itu ada pada zat. Akan tetapi ia mengulang kembali apa yang telah dikatakan oleh Ibn Kilab “Tidak boleh dikatakan bahwa zat itu adalah sifat-sifat”.[4] Ini merupakan pernyataan yang kontradiksi. Al Asy’ari tidak bisa mengingkari apa yang disebut didalam Kitab Allah dan Sunnah bahwa Allah punya singgasana, wajah dan tangan, tetapi ia menerima, sejalan dengan pandangan kaum salaf atau terkadang ia takwilkan sejalan dengan kaum Mutazilah.
Al Asy’ari berusaha keras untuk menggunakan dalil naqliah dan akliah yang kokoh untuk memungkinkan melihat Allah dengan cara memberikan kesan kepada kita seakan ia berbeda pendapat dari kaum Mutazilah, kemudian segera menetapkan bahwa peristiwa melihat Allah tidak mengkonsekuensikan arah dan ruang, tapi hanya sekedar merupakan jenis pengetahuan dan persepsi, yang jalannya adalah mata dengan cara yang tidak biasa seperti di didunia.[5] Al Asy’ari juga mengambil sikap tengah dalam masalah sifat Kalam. Untuk itu ia menggunakan istilah kalam dalam dua pengertian : “Yang dimaksud dengan kalam adalah al-Ma’na al-Nafsi al-Qa’im bi al-Zai (pengertian kalam yang ada pada zat). Sifat ini dikaitkan kepada Allah, adalah eternal dan azali. Sifat kalam ini juga dipergunakan pada suara-suara dan huruf-huruf yang menyampaikan pengertian ini, ini tidak diragukan lagi adalah temporal (hadisah). Dengan teori ini problematika ‘ apakah al-Qur’an adalah makhluk’ bisa dipecahkan dengan penyelesaian yang ringan dan mudah.[6]

Sependapat dengan Mutazilah, al-Asy’ari menetapkan bahwa Allah Maha Adil. Namun, sependapat dengan kaum Salaf, Al-Asy’ari menolak pandangan yang mengharuskan Allah swt untuk melakukan sesuatu, walaupun itu teori al-Salah wa al-Aslah (pandangan yang mengatakan bahwa Allah harus melakukan yang baik dan terbaik), karena Allah bebas melakukan apa yang ia kehendaki.[7] 
Akhinya Al-Asy’ari menerima teori yang dikemukakan oleh Mu’tazilah bahwa akal bisa mengetahui kebaikan dan kejelekan yang ada di dalam benda-benda, tetapi ini tidak diharuskan kecuali berdasarkan dalil naqli. Karena setiap orang walaupun dengan akalnya bisa mengetahu Allah tetapi pengetahuan ini diwajibkan kepadanya hanya atas perintah Syara.
Itu merupakan perpaduan yang mahir, walaupun tidak terlepas dari kecaman tertentu. Ia menjaga kesucian teks agama, dengan tanpa melalaikan aspek akal yang mendukung dan memperkuat akidah. Ia menghadapi titik perbedaan yang meragukan antara kaum Salaf dan Mutazilah mengenai topik Ketuhanan yang untuk ini ia mengajukan pemecahan yang bisa diterima oleh orang awam dan memuaskan tidak sedikit dari kalangan khusus, yang kemudian mulai mengakar seiring dengan perjalanan waktu, bahkan manjadi akidah yang dominan

________________________
[3] Al-Maqrizi, Al Khata, (Kairo, 1939), hlm.132
            [4] Al-Syahrastani, Al milal, hlm. 67
            [5] ibid, hlm.72 
            [6] ibid, hlm. 68

source: makalah agama-akidah gue. :)