Doktrin-doktrin, ciri-ciri serta tokoh aliran Asy'ariah

Doktrin Aliran Al-Asy’ariah
Dalam dakwahmya di Masjid Basrah, al-Asy’ari memfokuskan diri pada doktrin di bawah ini: Al-Qur’an adalah makhluk, melihat Allah dengan mata dan perbuatan manusia. Ini menunjukkan bahwa persoalan ini merupakan masalah yang menyibukkan pikiran yang pada kenyataanya menjauhkan Salaf dari Mutazilah. Ia berusaha untuk memadukan keduanya.

1.    Al-Qur’an itu makhluk
Menurut Al-Asy’ari, Al-Qur;an tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, maka sesuai dengan ayat
اِنّمَاقَولنالِشيءٍاذاارَدناهُ ان نقول له كن فيكن
Untuk penciptaan itu perku kata kun, dan untuk terciptanya kun perlu kata-kata kunyang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Dan inilah yang tak mungkin apabila dikatakan Al-Qur’an itu tak mungkin diciptakan. 

2.    Allah dapat dilihat di akhirat
Demikian pendapat Al-Asy’ari. Berbeda dengan pendapat dengan Mutazilah apabilah Tuhan dapat dilihat, maka ia akan terikat ruang dan waktu dan ia memiliki sifat. Di antara alasanya yang dikemukakan, ialah bukan berarti Allah memiliki sifat lantas disamakan dengan manusia seperti Allah Maha Melihat apakah dengan mata, Mendengar dengan telinga, dsb, tentu Allah memiliki sifat tapi tidak dengan zat-Nya, selain itu bahwa sifat- sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa bahwa Allah itu diciptakan, sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak harus mengandung arti bahwa Allah mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa Tuhan dapat dilihat tidak mesti Tuhan harus bersifat diciptakan dan teriakat ruang dan waktu. Dalam surat An-Nahl (16/40): jika kami menghendaki sesuatu, Kami menyatakan “ Terjadilah” maka ia pun terjadi. Jadi bisa saja Allah itu dapat dilihat di akhirat kelak sesuai dengan surat diatas.

3.    Kebebasan dalam berkehandak (Free-Will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat ekstrim yakni, Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham paradeterminisme semata-mata dan Mu’tazillah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asy’ari membedakan antara kholiq  dan kasb.
Menurutnya Allah adalah pencipta (kholiq) perbuatan manusia., sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannnya (muktasib). Hanya allah lah yang mampu menciptakan segalah sesuatu (termasuk keinginan manusia).
4.    Akal dan wahyu serta Takdir
Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazillah mengenai pentingnya akal dan wahyu, tetapi mereka berbeda dalam menghadapi permasalahan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sedangkan Mu’tazillah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazillah berdasarkan akal.

5.    Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazillah. Mengingat kenyataannya bahwa iman merupakan lawan dari kafir, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Jika tidak mu’min, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
6.    Perbuatan Manusia
Ada sebuah dialog yang dikatakan al-Asy’ari dengan gurunya, al-Jubbai, yang konon menjadikan salah satu faktor yang menyebabkan perpisahan ketika al-Asy’ari masih beraliran Mutazilah. 

Berikut adalah diaolog ketidak puasan Imam Al-Asy’ary kepada Abu Ali Al-Jubba’i:
· Abu Hasan Al-Asy’ary bertanya: Bagaimana menurut pendapatmu tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan, mukmin, kafir dan anak kecil.
·  Al-Jubba’i: Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
·  Al-Asy’ari: Apabila anak kecil itu ingin meningkat masuk surga, artinya sesudah meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu mungkin?
·  Al-Jubba’i: Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan Engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.
·  Al-Asy’ari: Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat. seandainya aku dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat seperti amalnya orang mukmin.
·  Allah Berfirman: Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa, niscaya engkau bermaksiat dan engkau disiksa. Karena itu Aku menjaga kebaikanmu. Aku mematikan mu sebelum engkau mencapai umur dewasa.
·  Al-Asy’ari: seandainya si kafir itu bertanya: Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana juga mengetahui keadaannya, mengapa engkau tidak menjaga kemashlahatanku, sepertinya? Maka Al-Jubai diam saja, tidak meneruskan jawabannya.[9]
Menurut Al-Asy’ari semua perbuatan baik dan buruk, diciptakan oleh Allah, sama sekali tidak ada keraguan dalam masalah ini, orang- orang Mutazilah beranggapan bahwa perbuatan buruk keluar dari Allah. Merupakan kesalahan tersendiri jika mengatakan bahwa orang kafir itu menciptakan perbuatan kafirnya, karena seseorang tidak menciptakan kecuali diinginkanya. Kekafiran adalah suatu yang buruk, tidak patut diinginkan, maka jika ia datang dengan tanpa kesengajaan maka tidak mungkin jika padahal penciptanya, pada hakekatnya yang bukan pencipta tidak boleh mencipta Mutazilah melihat bahwa mengembalikan sekuruh perbuatan kepada Allah berarti bahwa manusia ada dua kemungkinan: berada dalam kenikmatan yang harus disyukuri atau berada dalam kesulitan yang harus dihadapinya dengan sabar.

Bagi Al-Asy’ari tidak ada masalah dalam persoalan ini. Yang jelas ada bencana yang harus dihadapi dengan sabar seperti sakit dan kehilangan anak, tetapi juga ada bencana yang tidak boleh dihadapi dengan kesabaran seperti kekafiran dan perbuatan maksiat.[10] Ini berarti Allah menciptakan perbuatan maksiat, tetapi bukan berarti Allah memerintahkan untuk berbuat hal itu dilakukan.
Al-Asy’ari melupakan pengaruh qada ini terhadap kebebasan berkehendak. Walaupun ia berusaha melepaskan melalui teori kasab. sikap rela terhadap qada Allah padahal itu wajib, terdapat kesulitan lain, yaitu kita rela terhadap kekafiran karena itu merupakan qada Allah dan Al-Asy’ari berusaha untuk melepaskan diri dari hal itu.
Jika Allah pencipta semua perbuatan, lantas apa yang tersisa untuk manusia, jika semua sudah ditentukan? Al-Asy’ari menjawab bahwa manusia mempunyai kasab dan ikhtiar. Kasab berarti semata-mata hubungan qudrat (kemampuan) dan kehendak manusia dengan perbuatan, sedangkan perbuatan merupakan ciptaan Allah, karena qudrat kita sama sekali tidak bisa berpengaruh kepada yang dikodratinya, karena ia sendiri adalah makhluk. Inti dari permasalahan kasus ini manusia wajib berusaha terlebih dahulu diiringi doa dan berikhtiar dan semua diserahkan kepada Allah.
Al-Asy’ari seterusnya menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa kaum Mutazilah. Menrut pendapatnya Allah berkuasa mutlak dan tak ada satupun yang wajib bagin-Nya. Allah berkehendak semaunya, apabila ia memasukan orang kafir ke dalam surga dan orang beriman dimasukkan ke neraka bukankah itu tidak adil, karena Allah maha berkehendak dan kehendak Allah tidak mungkin salah. Dengan demikian ia juga tidak menerima paham tentang al-wa’d wa al-wa’id.



Juga ajaran tentang posisi ditengah atau paham al-manzilah bain al-manzilahtain, posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah, tempat ini ditempati bagi mereka orang yang berdosa besar tapi tetap mukmin, karena imanya masih ada, tapi karena ia bebrbuat dosa besar maka ia menjadi fasiq maka inilah tempatnya, sedangkan Al-Asy’ari bebeda dengan mutazilah karena apabila sesorang yang telang meninggal maka akan ditimbang amal perbuatannya, apabila orang tersebut memiliki dosa maka akan dimasukan terlebih dahulu ke neraka lalu ke surga, karena surga tidak bisa ditempati bagi mereka yang memiliki dosa. Berkaitan dengan posisi di tengah ini tidak ada satupun ayat yang menjelaskan tentang posisi ditengah tersebut


Ciri-ciri Penganut Aliran Asy’ariyah
Ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
1.      Mereka berpikir sesuai dengan Undang-Undang alam dan mereka juga mempelajari ajaran itu.
2.      Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbuat baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar.
3.      Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.[11]

Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah
1. Al-Baqillani
Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, yaitu Al-Asy’ari. ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. 
Al-Baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran mu’tazillah sebagai dasar penetapan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Jauhar adalah suatu hal yang mungkin, artinya bisa wujud dan bisa tidak, seperti halnya aradh.



Menurutnya tiap-tiap aradh mempunyai lawan aradh pula. Disinilah terjadi mukjizat itu karena mukjizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan.

2. Al-Juwaini
Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah besar pergi kekota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. kegiatan ilmiahnya meliputi ushul fiqh dan teologi islam.

Empat hal yang berlaku pada kedua alam tersebut, alam yang tidak dapat disaksikan dengan alam yang dapat disaksikan, yaitu:
·       Illat : Seperti ada sifat “ilmu” (tahu) menjadi illat (sebab) seseorang dikatakan “mengetahui” (alim).
·       Syarat : Sifat “hidup” menjadi syarat seseorang dikatakan mengetahui
·       Hakikat : Hakikat orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai sifat “ilmu”
·       Akal pikiran : Seperti penciptaan menunjukkan adanya zat yang menciptakan.
3. Al-Ghazaly
Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H, di Tus kota kecil di Churassan (Iran). Al-Ghazali adalah ahli pikir islam yang memiliki puluhan karya seperti Teologi islam, Hukum islam, dan lainnya.
Sikap Al-Ghazali yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Faishalut Tafriqah bainal islam waz zandaqah dan Al-Iqtishad. menurut Al-Ghazali perbedaan dalam soal – soal kecil baik yang bertalian dengan soal – soal aqidah atau amalan, bahkan pengingkaran terhadap soal khilaffat yang sudah disepakati oleh kaum muslimin tidak boleh dijadikan alasan untuk mengkafirkan orang.[12]


Catatan Kaki:
[9] Abdul Rozak. Ilmu kalam. Pustaka setia; bandung. 2007 
[10] ibnu khalikan, wafiyyat al-Ayan, Kairo, 1964, hlm. 39

[11] Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta. 2003
[12] Abdul Rozak. Ilmu kalam. Pustaka setia; bandung.