Doktrin Aliran Al-Asy’ariah
[11] Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta. 2003
Dalam dakwahmya di Masjid Basrah, al-Asy’ari memfokuskan diri pada doktrin
di bawah ini: Al-Qur’an adalah makhluk, melihat Allah dengan mata dan perbuatan
manusia. Ini menunjukkan bahwa persoalan ini merupakan masalah yang menyibukkan
pikiran yang pada kenyataanya menjauhkan Salaf dari Mutazilah. Ia berusaha
untuk memadukan keduanya.
1.
Al-Qur’an itu makhluk
Menurut Al-Asy’ari, Al-Qur;an tidaklah
diciptakan sebab kalau ia diciptakan, maka sesuai dengan ayat
اِنّمَاقَولنالِشيءٍاذاارَدناهُ ان نقول له كن فيكن
Untuk penciptaan itu perku kata kun, dan untuk
terciptanya kun perlu kata-kata kunyang lain;
begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang
tak berkesudahan. Dan inilah yang tak mungkin apabila dikatakan Al-Qur’an itu
tak mungkin diciptakan.
2.
Allah dapat dilihat
di akhirat
Demikian pendapat Al-Asy’ari.
Berbeda dengan pendapat dengan Mutazilah apabilah Tuhan dapat dilihat, maka ia
akan terikat ruang dan waktu dan ia memiliki sifat. Di antara alasanya yang
dikemukakan, ialah bukan berarti Allah memiliki sifat lantas disamakan dengan
manusia seperti Allah Maha Melihat apakah dengan mata, Mendengar dengan
telinga, dsb, tentu Allah memiliki sifat tapi tidak dengan zat-Nya, selain itu
bahwa sifat- sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat
yang akan membawa bahwa Allah itu diciptakan, sifat dapatnya Tuhan dilihat
tidak harus mengandung arti bahwa Allah mesti bersifat diciptakan. Dengan
demikian boleh dikatakan bahwa Tuhan dapat dilihat tidak mesti Tuhan harus
bersifat diciptakan dan teriakat ruang dan waktu. Dalam surat An-Nahl
(16/40): jika kami menghendaki sesuatu,
Kami menyatakan “ Terjadilah” maka ia pun terjadi. Jadi
bisa saja Allah itu dapat dilihat di akhirat kelak sesuai
dengan surat diatas.
3.
Kebebasan dalam berkehandak (Free-Will)
Dalam hal
apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta
mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat ekstrim yakni, Jabariyah
yang fatalistik dan menganut faham paradeterminisme semata-mata dan Mu’tazillah
yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan
perbuatannya sendiri. Al-Asy’ari membedakan antara kholiq dan kasb.
Menurutnya
Allah adalah pencipta (kholiq) perbuatan manusia., sedangkan manusia sendiri
yang mengupayakannnya (muktasib). Hanya allah lah yang mampu menciptakan
segalah sesuatu (termasuk keinginan manusia).
4.
Akal dan wahyu
serta Takdir
Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazillah mengenai
pentingnya akal dan wahyu, tetapi mereka berbeda dalam menghadapi permasalahan
yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari
mengutamakan wahyu sedangkan Mu’tazillah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan burukpun terjadi perbedaan
pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus
berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazillah berdasarkan akal.
5.
Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari
menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazillah. Mengingat kenyataannya
bahwa iman merupakan lawan dari kafir, predikat bagi seseorang haruslah salah
satu di antaranya. Jika tidak mu’min, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik,
sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
6.
Perbuatan Manusia
Ada sebuah dialog yang
dikatakan al-Asy’ari dengan gurunya, al-Jubbai, yang konon menjadikan salah
satu faktor yang menyebabkan perpisahan ketika al-Asy’ari masih beraliran
Mutazilah.
Berikut adalah diaolog ketidak puasan Imam Al-Asy’ary kepada Abu Ali
Al-Jubba’i:
· Abu Hasan Al-Asy’ary bertanya:
Bagaimana menurut pendapatmu tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan
berlainan, mukmin, kafir dan anak kecil.
· Al-Jubba’i: Orang Mukmin adalah Ahli
Surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
· Al-Asy’ari: Apabila anak kecil itu
ingin meningkat masuk surga, artinya sesudah meninggalnya dalam keadaan masih
kecil, apakah itu mungkin?
· Al-Jubba’i: Tidak mungkin bahkan
dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada Allah,
sedangkan Engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.
· Al-Asy’ari: Seandainya anak itu
menjawab memang aku tidak taat. seandainya aku dihidupkan sampai dewasa, tentu
aku beramal taat seperti amalnya orang mukmin.
· Allah Berfirman: Aku mengetahui
bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa, niscaya engkau bermaksiat dan
engkau disiksa. Karena itu Aku menjaga kebaikanmu. Aku mematikan mu sebelum
engkau mencapai umur dewasa.
· Al-Asy’ari: seandainya si kafir itu
bertanya: Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana juga mengetahui
keadaannya, mengapa engkau tidak menjaga kemashlahatanku, sepertinya? Maka
Al-Jubai diam saja, tidak meneruskan jawabannya.[9]
Menurut Al-Asy’ari semua perbuatan baik dan buruk, diciptakan oleh Allah,
sama sekali tidak ada keraguan dalam masalah ini, orang- orang Mutazilah
beranggapan bahwa perbuatan buruk keluar dari Allah. Merupakan kesalahan
tersendiri jika mengatakan bahwa orang kafir itu menciptakan perbuatan
kafirnya, karena seseorang tidak menciptakan kecuali diinginkanya. Kekafiran
adalah suatu yang buruk, tidak patut diinginkan, maka jika ia datang dengan
tanpa kesengajaan maka tidak mungkin jika padahal penciptanya, pada hakekatnya
yang bukan pencipta tidak boleh mencipta Mutazilah melihat bahwa mengembalikan
sekuruh perbuatan kepada Allah berarti bahwa manusia ada dua kemungkinan:
berada dalam kenikmatan yang harus disyukuri atau berada dalam kesulitan yang
harus dihadapinya dengan sabar.
Bagi Al-Asy’ari tidak ada masalah dalam persoalan ini. Yang jelas ada
bencana yang harus dihadapi dengan sabar seperti sakit dan kehilangan anak,
tetapi juga ada bencana yang tidak boleh dihadapi dengan kesabaran seperti
kekafiran dan perbuatan maksiat.[10] Ini
berarti Allah menciptakan perbuatan maksiat, tetapi bukan berarti Allah
memerintahkan untuk berbuat hal itu dilakukan.
Al-Asy’ari melupakan pengaruh qada ini terhadap kebebasan berkehendak.
Walaupun ia berusaha melepaskan melalui teori kasab. sikap rela terhadap qada
Allah padahal itu wajib, terdapat kesulitan lain, yaitu kita rela terhadap
kekafiran karena itu merupakan qada Allah dan Al-Asy’ari berusaha untuk
melepaskan diri dari hal itu.
Jika Allah pencipta semua perbuatan, lantas apa yang tersisa untuk
manusia, jika semua sudah ditentukan? Al-Asy’ari menjawab bahwa manusia
mempunyai kasab dan ikhtiar. Kasab berarti semata-mata hubungan qudrat (kemampuan)
dan kehendak manusia dengan perbuatan, sedangkan perbuatan merupakan ciptaan
Allah, karena qudrat kita sama sekali tidak bisa berpengaruh kepada yang
dikodratinya, karena ia sendiri adalah makhluk. Inti dari permasalahan kasus
ini manusia wajib berusaha terlebih dahulu diiringi doa dan berikhtiar dan
semua diserahkan kepada Allah.
Al-Asy’ari seterusnya menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa kaum
Mutazilah. Menrut pendapatnya Allah berkuasa mutlak dan tak ada satupun yang
wajib bagin-Nya. Allah berkehendak semaunya, apabila ia memasukan orang kafir
ke dalam surga dan orang beriman dimasukkan ke neraka bukankah itu tidak adil,
karena Allah maha berkehendak dan kehendak Allah tidak mungkin salah. Dengan
demikian ia juga tidak menerima paham tentang al-wa’d wa al-wa’id.
Juga ajaran
tentang posisi ditengah atau paham al-manzilah bain al-manzilahtain,
posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah, tempat ini ditempati
bagi mereka orang yang berdosa besar tapi tetap mukmin, karena imanya masih
ada, tapi karena ia bebrbuat dosa besar maka ia menjadi fasiq maka inilah
tempatnya, sedangkan Al-Asy’ari bebeda dengan mutazilah karena apabila sesorang
yang telang meninggal maka akan ditimbang amal perbuatannya, apabila orang
tersebut memiliki dosa maka akan dimasukan terlebih dahulu ke neraka lalu ke
surga, karena surga tidak bisa ditempati bagi mereka yang memiliki dosa.
Berkaitan dengan posisi di tengah ini tidak ada satupun ayat yang menjelaskan
tentang posisi ditengah tersebut
Ciri-ciri
Penganut Aliran Asy’ariyah
Ciri-ciri orang
yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
1.
Mereka berpikir
sesuai dengan Undang-Undang alam dan mereka juga mempelajari ajaran itu.
2.
Iman adalah
membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbuat baik dan
terbaik bagi manusia. dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar.
3.
Kehadiran Tuhan
dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.[11]
Tokoh-tokoh
Aliran Asy’ariyah
1. Al-Baqillani
Namanya
Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran
gurunya, yaitu Al-Asy’ari. ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak
jasanya dalam pembelaan agama.
Al-Baqillani
mengambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran mu’tazillah sebagai
dasar penetapan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Jauhar adalah suatu hal yang
mungkin, artinya bisa wujud dan bisa tidak, seperti halnya aradh.
Menurutnya
tiap-tiap aradh mempunyai lawan aradh pula. Disinilah terjadi mukjizat itu
karena mukjizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan.
2. Al-Juwaini
Namanya
Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah
besar pergi kekota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. kegiatan
ilmiahnya meliputi ushul fiqh dan teologi islam.
Empat hal yang
berlaku pada kedua alam tersebut, alam yang tidak dapat disaksikan dengan alam
yang dapat disaksikan, yaitu:
·
Illat : Seperti ada
sifat “ilmu” (tahu) menjadi illat (sebab) seseorang dikatakan “mengetahui”
(alim).
·
Syarat : Sifat
“hidup” menjadi syarat seseorang dikatakan mengetahui
·
Hakikat : Hakikat
orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai sifat “ilmu”
·
Akal pikiran :
Seperti penciptaan menunjukkan adanya zat yang menciptakan.
3. Al-Ghazaly
Namanya
Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450
H, di Tus kota kecil di Churassan (Iran). Al-Ghazali adalah ahli pikir islam yang
memiliki puluhan karya seperti Teologi islam, Hukum islam, dan lainnya.
Sikap Al-Ghazali yang dikemukakan dalam bukunya yang
berjudul Faishalut Tafriqah bainal islam waz zandaqah dan Al-Iqtishad. menurut
Al-Ghazali perbedaan dalam soal – soal kecil baik yang bertalian dengan soal –
soal aqidah atau amalan, bahkan pengingkaran terhadap soal khilaffat yang sudah
disepakati oleh kaum muslimin tidak boleh dijadikan alasan untuk mengkafirkan
orang.[12]
Catatan Kaki:
[9] Abdul Rozak. Ilmu kalam. Pustaka setia; bandung. 2007
[10] ibnu khalikan, wafiyyat al-Ayan, Kairo, 1964, hlm. 39
[11] Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta. 2003
[12] Abdul Rozak.
Ilmu kalam. Pustaka setia; bandung.