Pemahaman akidah Abu Al Hasan Al Asy'ari


2.1 Abu Al Hasan Al Asy’ari
Asy`ariah adalah sebuah paham akidah yang dikembangkan oleh Abul Hasan Al-Asy`ari. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari. Nama aliran Asy’ariah sendiri dinisbahkan dari nama Abu Hasan Al-Asy’ariy itu sendiri.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan Al Asy’ari paham akan seluk-beluk segala permasalahan kalam. Atas didikan Al-Jubba’i,  Al-Asy’ari kemudian menjadi toko Muktazillah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Muktazillah. Selain itu ia banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah pada usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashroh bahwa dirinya telah meninggalkan paham Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut al-subki dan ibn asakir, hal yang melatarbelakangi keluarnya Al-Asy’ari dari paham Muktazilah bahwa disebutkan pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Al-Asy’ari, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.”
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.[1]
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2.1.1 Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a.    Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:


•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)


Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
·      Takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
·      Ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
·      Tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
·      Tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya.[2] 

___________________
[1] http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html, (diakses 29 september 2012)
[2] Rudi Arlan, ilmu kalam, (Bandung, 2009)


source: makalah agama-akidah gue. :)

baca juga : Perkembangan Aliran Asy'ariah
                 Doktrin-doktrin, ciri-ciri serta tokoh aliran Asy'ariah