Umat Islam di
Filipina adalah salah satu contoh muslim minoritas di negaranya. Hal ini sangat
bertolak belakang dengan keadaan masyarakat muslim di wilayah tersebut pada
awal mula kedatangan Islam. Apa yang menjadi latar belakang sehingga mayoritas
muslim abad 15-17, berubah menjadi minoritas pada abad ke-18.
Masa penjajahan
kemudian dihadapi oleh bangsa ini sekaligus dampak yang terjadi terhadap
perkembangan Islam di Negara tersebut. Sebagaimana diketahui, Filipina
menghadapi dua kali masa penjajahan, yaitu oleh Spanyol dan Amerika.
A.
Masa Penjajahan
Spanyol
Kedatangan orang-orang
Spanyol ke Filipina pada tahun 1521 M, selain untuk menjajah juga bertujuan
untuk menyebarkan agama Kristen. Namun,
ketika Spanyol menaklukan wilayah utara Filipina dengan mudah dan tanpa
perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Tentara
kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian melawan kesultanan Islam di
wilayah selatan Filipina, yakni Sulu, Manguindanau dan Buayan. Rentetan
peperangan yang panjang antara Islam dan Spanyol hasilnya tidak nampak kecuali
bertambahnya ketegangan antara orang Kristen dan orang Islam Filipina.
Bangsa Spanyol juga menyerang karajaan muslim Sulu,
Manguindanau dan Manilad dengan fanatisme dan keganasan yang sama seperti
mereka memperlakukan penduduk muslim mereka sendiri di Spanyol.
Bahkan Raja Philip memerintahkan Kepala Staf Angkatan
Lautnya sebagai berikut: “Taklukkan pulau-pulau itu dan gantikan agama
penduduknya (ke agama Katolik)”. Menghadapi latar belakang seperti ini,
orang-orang muslim Filipina (bangsa Moro) harus berjuang bagi kelangsungan
hidupnya sampai saat ini, lebih dari empat abad. Spanyol tidak pernah dapat
menaklukkan kesultanan Islam Sulu walaupun dalam keadaan perang terus menerus,
dan harus mengakui keberadaannya yang merdeka.
B.
Masa Imperialisme
Amerika Serikat
Pada tahun 1896,
Presiden Mc. Kinley dari AS memutuskan untuk menduduki Filipina untuk
“mengkristenkan dan membudayakan” rakyat sebagaimana ia ajukan. Amerika datang
ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat
dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20
Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat,
kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro.
Amerika berhasil
menduduki bekas jajahan Spanyol ini pada tahun 1899, namun mendapatkan
perlawanan dari Negara muslim Sulu. Traktat tersebut ternyata hanya taktik untuk
mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak karena pada saat yang sama Amerika sedang disibukkan dengan
pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara. Terbukti setelah kaum
revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser
kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Kesultanan Sulu
jatuh ke tangan Amerika pada tahun 1914. Pada tahun 1915, Raja Muslim dipaksa
turun tahta, tetapi diakui sebagai ketua komunitas muslim. Hanya pada April
1940, Amerika menghapuskan Kesultanan Sulu dan menggabungkan bangsa Moro ke
dalam Filipina.
Patut dicatat bahwa
selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk
membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para
kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai
kelompok perlawanan Bangsa Moro. Namun Amerika memandang peperangan tak cukup
efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi
penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini kemudian
disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka.
Kebijakan
pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang
sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai hasilnya, persatuan
politik dan kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis
budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat. Pada dasarnya kebijakan ini lebih
disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama
masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan
kebiasaan orang-orang Kristen.
Seiring dengan
berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara
bertahap, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian
yang selama ini dipelihara oleh masyarakat Muslim.
C.
Masa Peralihan /
Faktor yang Mendukung Kemerdekaan
Masa
pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika
ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland
ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS
yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902)
yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis,
ditandatangani dan di bawah sumpah. Kemudian Philippine Commission Act No. 718
(4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu, atau kepala
Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin
dari pemerintah.
Pada intinya
ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah
kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah
Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis.
Kepemilikan tanah
yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut mendorong
migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao. Banyak
pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa motif
utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk
menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun
koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan.
Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu
AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro
menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri
D.
Masa Pasca
Kemerdekaan / Perkembangannya
Kemerdekaan yang
didapatkan Filipina pada 4 Juli 1946 M dari Amerika Serikat ternyata tidak
memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika
Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah
Filipina). Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki
babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan
maju, seperti MIM (Mindanao Independece Movement), MNLF, MILF, MNLF-Reformis,
BMIF.
Sehingga pada saat
sekarang, muslim hanya menjadi mayoritas di kawasan otonomi ARMM, The
Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM). ARMM di bawah kepemimpinan Misuari
mencakup Maguindanao, Lanao del Sur, Sulu, dan Tawi-Tawi. ARMM dibentuk oleh
pemerintah pada tahun 1989 sebagai daerah otonomi di Filipina Selatan. Sebagai
hasil dari kesepakatan damai antara MNLF dan pemerintah pusat Filipina. Ketika
itu penduduk boleh menyatakan pilihannya untuk bergabung dalam wilayah otonomi
Muslim dan hasilnya empat wilayah tersebut memilih untuk bergabung. Meskipun
begitu kesepakatan itu tidak cukup memuaskan sebagian pejuang muslim sehingga
munculah Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan kelompok Abu Sayyaf. Kelompok
ini bersumpah untuk menentang dan memboikot ARMM dan tetap memperjuangkan
kemerdekaan. Meskipun pada saat sekarang MILF juga menerima otonomi dengan
syarat wilayah otonomi ARMM diperluas dengan ditambahkan beberapa propinsi lagi
sebagai tambahan.
Menurut Majul, minimal ada tiga
alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegrasi secara penuh
kepada pemerintah Republik Filipina. Pertama, bangsa Moro sulit menerima
Undang-Undang Nasional karena jelas undang-undang tersebut berasal dari Barat
dan Katolik dan bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua, sistem sekolah yang
menetapkan kurikulum yang sama tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur
membuat bangsa Moro malas untuk belajar di sekolah yang didirikan oleh
pemerintah. Ketiga, adanya trauma dan kebencian yang mendalam pada bangsa Moro
atas program perpindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Filipina ke
wilayah mereka.