Dahulukan Nafkahi Anak Istri daripada Menafkahi Orang Tua

Assalamu'alaikum sahabat! pasti pernah menemukan kendala seperti ini kan sahabat? mana yang harus kita dahulukan? menafkahi istri dan anak atau menafkahi orang tua yang telah membesarkan kita?
Nah, berikut adalah pembahasan dari masalah diatas, dikutip dari facebook Hasan Al-Jaizy Al-Jaizy
Bismillah..
Sepakatlah ulama bahwa menafkahi anak istri itu wajib, berdasarkan ayat-ayat dan beberapa hadits. Bahkan kesepakatan mereka secara dzat sudah menjadi dalil. Dan hal ini tak satu pun diingkari oleh kaum muslimin.
Dan hukum menafkahi orang tua itu adalah WAJIB, namun dengan beberapa syarat:
  1. Orang tua tersebut adalah faqir. 
  2. Sang anak adalah muwsir (mendapatkan kelebihan/keluasan rizqi).


"Jika ia tidak bisa menyisakan kelebihan harta dari menafkahi dirinya kecuali hanya mampu menafkahi satu pihak saja, maka (hendaknya) ia mendahulukan nafkah terhadap istri daripada nafkah terhadap kerabat (orang tua, saudara dst). Karena menafkahi istri lebih kuat (hukum wajibnya dari sisi syariat)."


Maka, jika orang tua tersebut memiliki kecukupan bahkan kelebihan, sang anak tidak diwajibkan menafkahi keduanya, dan boleh bersedekah biasa. Berbeda dengan suami-istri. Sekalipun istrinya kaya raya, sang suami tetap dibebani kewajiban menafkahi istrinya, dan harta milik istri tetap milik istri.
Juga, jika orang tua tersebut adalah faqir, dan sang anak pun juga faqir, maka sang anak tidak diwajibkan menafkahi orang tuanya. Karena sama-sama kekurangan. Berbeda dengan suami-istri. Jika suaminya faqir, ia tetap harus mencari nafkah untuk istrinya semampunya.
Dari penjelasan di atas sebenarnya sudah bisa dinalar bahwa kewajiban menafkahi istri dengan kewajiban menafkahi orang tua berbeda derajat.
Belumlah lagi dengan dalil yang sharih (langsung ke sasaran), sebagaimana kata Nabi -shallallahu alayhi wa sallam-:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا ، بَيْنَ يَدَيْكَ ، وَعَنْ يَمِينِكَ ، وَعَنْ شِمَالِكَ
“Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari itu untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat dekatmu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu.”
Perhatikan urutannya: mulailah dari dirimu sendiri (menafkahi dirimu secukupnya), kemudian untuk AHL-mu (keluargamu: anak dan istri). Ahl di sini bukanlah qarabah (kerabat: ayah, ibu, kakak, adik dll). Nah, jika ada kelebihan setelah menafkahi keluarga (anak dan istri), tuntunan Nabi: barulah ke kerabat dekatmu, dari yang terdekat, yaitu ayah, ibu, dan saudara.
Begitulah petunjuk Nabi kita. Dari sini ulama menentukan bahwa hak nafkah anak-istri lebih didahulukan dibandingkan hak nafkah orang tua. Lebih-lebih, dalam Shahih al-Bukhary, riwayat ABu Hurairah, Nabi kita bersabda:
خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
"Sedekah yang terbaik adalah yang dikeluarkan selebih keperluan, dan mulailah dari orang yang kamu tanggung."
Dan orang yang kita tanggung adalah istri dan anak. Pada asalnya, orang tua kita bukanlah orang yang kita tanggung. Mereka menjadi tanggungan yang wajib bagi kita ketika: [1] mereka faqir, dan [2] kita kaya (mempunyai kelebihan harta).
Lebih tegasnya lagi adalah hadits berikut yang saya copas matan dan terjemahannya dari blog Abu Zuhriy karena mempermudah:
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
تَصَدَّقُوا
“Bersedekahlah kalian”
lalu seseorang berkata “ya Rasulullah aku hanya memiliki satu dinar”
beliau menjawab:
تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ
“Bersedekahlah dengannya untuk dirimu, ”
ia berkata: “aku mempunyai yang lain”
beliau bersabda:
تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ
“Bersedekahlah untuk istrimu, ”
ia berkata: “aku memiliki yang lain”
beliau bersabda:
تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ
“Bersedekahlah untuk anakmu, ”
Ia berkata: “aku memiliki yang lain”
beliau bersabda:
تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ
“Bersedekahlah untuk pembantumu, ”
Ia berkata aku memiliki yang lain, beliau bersabda:
أَنْتَ أَبْصَرُ
“Engkau lebih tahu (yang berhak engkau beri)”
An-Nawawy dalam "Raudhah ath-Thalibin" (9/39) mengatakan:
وَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ عَنْ كِفَايَةِ نَفْسِهِ إِلَّا نَفَقَةُ وَاحِدٍ، قَدَّمَ نَفَقَةَ الزَّوْجَةِ عَلَى نَفَقَةِ الْأَقَارِبِ، لِأَنَّ نَفَقَتَهَا آكَدُ
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga mengatakan dalam "Fath Dzi al-Jalal wa al-Ikram" (5/194):
فالصواب أنه يبدأ بنفسه ، ثم بالزوجة ، ثم بالولد ، ثم بالوالدين ، ثم بقية الأقارب
"Yang benar adalah dia memulai (nafkah terhadap) dirinya, kemudian terhadap istrinya, kemudian terhadap anaknya, kemudian terhadap kedua orang tuanya, kemudian sisa kerabat."
Adapun kisah yang dituturkan oleh Nabi tentang 3 orang terkurung dalam gua dan salah satunya bertawassul dengan amalan saleh berupa bakti pada orang tua didahulukan daripada anak, maka ketahuilah secara fiqh, para ulama -setahu penulis- tidak ada yang mengambil istinbath hukum nafkah dari cerita tersebut. Selain itu, hal itu terjadi di syariat sebelum Nabi Muhammad. Selain itu pula, sunnah qauliyyah (ucapan Nabi Muhammad) yang tegas lebih didahulukan daripada isyarat yang beliau ceritakan tentang cerita masa lampau.

Adapun hadits yang bermakna "Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu" tidak berarti bahwa segala yang dipunyai oleh anak berarti milik ayahnya dan boleh diambil terserah ayahnya; sekalipun ada ulama berpendapat seperti itu. Hadits ini tidak bisa difahami secara mutlak dan liberal. Melainkan paling minimalnya adalah penyadaran untuk seorang anak bahwa hak menafkahi orang tua itu begitu kuat, dan hendaknya anak juga menengok bahwa apa yang dia miliki, orang tua memiliki kontribusi sebelumnya. Namun bukan berarti dari segi kepemilikan semua harta anak adalah milik ayah. Jika semua milik ayah, maka boleh diambil semaunya, dan saat anak mati, seluruh warisan adalah untuk ayah, karena punya ayah (?!).
Terlebih, secara tegas dalam beberapa hadits di atas, hak nafkah istri dan anak lebih kuat dari hak nafkah terhadap orang tua. Wallahul muwaffiq.
Semoga bermanfaat.