Si Ahli Maksiat itu Kini dirindukan bidadari


Cerita ini di sadur dari Fanspage facebook Jonru
.........

Sebut saja namanya Dika. Usia 30-an tahun. Dulu pernah menikah, kini berstatus duda tanpa anak. Hingga tulisan ini dibuat, saya belum pernah ketemu dengannya. Kami berkenalan lewat Facebook. Sering chatting, dan akhirnya menjadi akrab. 
Dika memperkenalkan diri sebagai ahli maksiat. Namun maaf, saya tak bisa menyebutkan maksiat apa yang dia lakukan. Yang jelas, itu termasuk dosa besar dan sangat tercela. Saat kami berkenalan, dia mengaku sudah taubat dan ingin hidup normal sesuai ajaran agama. Namun sesekali, dia masih tergoda dan terjerumus, kembali melakukan maksiat tersebut. 
Di Jakarta, Dika tinggal bersama seorang temannya yang sangat baik hati. Sudah bertahun-tahun Dika tidak bekerja, menjadi pengangguran. Bahkan sejumlah penyakit bersarang di tubuhnya. Untungnya, ada sahabat yang mau membiayai hidupnya. Awalnya saya menaruh simpati pada Dika. Tapi lama-kelamaan timbul rasa tak suka. Sebab dia orangnya gampang tersinggung. Saya menasehatinya dengan maksud baik, tapi dia malah menyikapi secara negatif. Dia juga sering mengeluh, merasa putus asa, bahkan mengaku ingin bunuh diri. Dia frustasi karena bertahun-tahun jadi pengangguran, tak berdaya melawan penyakit yang bersarang di tubuhnya. Saya juga sempat berpikir, "Jika Dika belum bekerja juga selama bertahun-tahun, pasti itu bukan karena sulit mencari kerja. Dia pasti orang malas, tidak kreatif. Sebab rezeki Allah ada di mana-mana. Kalau tak ada pekerjaan, dia tentu bisa jualan apa kek, yang penting kan halal." 
Saya menyampaikan hal itu padanya, tapi Dika meresponnya dengan berbagai macam penyangkalan, yang intinya dia merasa tak bisa melakukan itu. Saya menasehatinya untuk bersedekah, agar hidupnya menjadi lebih baik. "Bersedekah? Saya kan tidak punya uang!" "Sedekah kan tidak harus pakai uang, Mas. Bukankah senyum juga sedekah? Mas Dika bisa membantu anak kecil menyeberang jalan, lakukan itu secara rutin, dan niatkan demi Allah semata. Itulah contoh sedekah yang bisa dilakukan tanpa harus mengeluarkan uang." "Tapi tubuh saya sakit-sakitan, tak kuat bekerja seperti itu." "Menyeberangkan anak itu kan hanya contoh. Mas Dika bisa melakukan kegiatan lain. Yang penting intinya sedekah tenaga." Dia diam, dan sepertinya belum bisa memahami ucapan saya tersebut. 

 * * * 
Suatu hari, Dika curhat pada saya, bercerita tentang dirinya yang merasa sering diganggu oleh jin. Dia ingin di-ruqiyah, tapi saya sarankan agar dia me-ruqiyah diri sendiri saja. "Caranya gimana, Bang?" "Rajin baca Al Quran." "Tapi saya tak bisa." "Kenapa?" "Kepala saya biasanya langsung pusing kalau baca Al Quran." "Nah, itu artinya Mas Dika memang diganggu oleh jin." "Berarti saya harus di-ruqiyah, kan?" "Boleh, tapi coba me-ruqiyah diri sendiri dulu dengan cara rajin tilawah." "Tapi saya suka malas kalau baca Al Quran." "Hm... mas Dika sudah pernah dengar nama ODOJ?" "Apa tuh?" "Singkatan dari One Day One Juz. Gabung aja deh di sana. Asyik. kok." Lalu saya bercerita bahwa dengan ikut ODOJ, kita bisa terus termotivasi untuk mengaji satu juz perhari. Sebab di dalamnya ada komunitas, kekeluargaan, saling mengingatkan dengan teman-teman satu group. Insya Allah ODOJ akan sangat bermanfaat bagi orang yang belum disiplin dalam tilawah." 
Biasanya, Dika langsung menyangkal jika saya beri nasehat. Termasuk saat saya menyarankannya untuk bergabung dengan ODOJ, dia pun menolak dengan berbagai alasan. Tapi di luar dugaan saya, sekitar dua hari kemudian dia mengirimi sama pesan di WhatsApp Messenger, mengabarkan bahwa dirinya sudah bergabung dengan ODOJ. "Alhamdulillah, ternyata asyik juga ya. Saya bahkan mau datang ke acara grand launching ODOJ tanggal 4 Mei nanti di Istiqlal. Bang Jonru datang, gak? Kalau datang, saya pengen kita ketemu di sana." Saya merasa bersyukur membaca pesannya itu. Tapi "tragisnya", saat itu saya sendiri justru sudah keluar dari ODOJ (alasan dan cerita lengkapnya bisa dibaca di https://www.facebook.com/notes/jonru-ginting/mengapa-saya-keluar-dari-odoj/10152180108178935 ), dan tak ada niat untuk menghadiri acara grand launching tersebut. 
Namun saya tidak memberitahukan hal itu kepada Dika. Khawatir berita itu akan membuat semangatnya di ODOJ jadi mengendur. Bagaimanapun, saya berharap dia bisa terus bergabung dengan ODOJ. Siapa tahu itu bisa menjadi jalan baginya untuk menjadi seorang muslim yang lebih baik. 
 * * * 
Suatu hari, Dika menelepon saya. Dia kembali mengeluh, meratapi nasibnya yang menurut dia sangat malang. Terus terang, saya paling malas menghadapi orang yang gampang putus asa seperti itu. Maka dengan sedikit galak, saya tunjukkan dia sebuah foto di fan page Jonru. Foto Mas Karman, seorang pria yang kakinya cacat, berasal dari keluarga tak mampu, tapi dia tetap semangat dan tak pernah mengeluh dalam mencari rejeki yang halal. Dia berjualan pulsa dan kacang telur di tepi jalan, hanya ditemani oleh kursi roda dan sebuah spanduk kecil untuk mempromosikan jualannya. "Mas Karman yang cacat begitu saja bisa penuh semangat dalam bekerja. Harusnya Mas Dika malu sama dia. Tubuhmu sempurna, tak ada yang cacat. Kenapa merasa diri sebagai manusia paling malang?" Ternyata, nasehat saya ini membuat Dika tersinggung lalu marah besar. Saya merasa geli, dan mulai kehilangan simpati padanya. 
Maka sejak saat itu, saya putuskan untuk berhenti berkomunikasi dengannya. Selama sekitar tiga bulan, saya dan Dika tidak berkomunikasi sama sekali. Saya pun sudah melupakannya. Namun tanggal 26 Juli 2014, tiba-tiba dia mengirim SMS, meminta izin untuk menelepon saya. "Ada hal yang hendak saya ceritakan," ujarnya. Saya pun memperbolehkannya. Malam harinya, seusai berbuka puasa, telepon dari Dika pun datang. 
"Assalamualaikum, Mas Dika. Apa kabar?" ujar saya dengan suara datar. Saya menduga, mungkin dia ingin kembali curhat dan berkeluh-kesah seperti dulu. "Alhamdulillah, baik Bang. Saya sekarang sudah bekerja lho, Bang." "Bekerja? Wah alhamdulillah," saya merasa kaget dan senang mendengar kabar itu. "Bekerja di mana, Mas?" "Banjarmasin." "Wah, jauh amat!" "Iya, Bang. Saya merasa bersyukur banget karena dulu Bang Jonru menyarankan saya untuk gabung dengan ODOJ. Sekarang saya bisa tilawah, bukan hanya satu juz, tapi bisa tiga juz lebih sehari. Tilawah ternyata bikin ketagihan, ya?" "Iya, alhamdulillah." "Sejak ikut ODOJ, tiba-tiba saya mendapat tawaran kerja di sebuah toko parfum, Bang. Pemilik tokonya baik banget. Dia menyarankan saya agar membaca tilawah jika sedang tak ada pembeli. Lalu karena ada tawaran kerja di Banjarmasin, saya pun merantau ke sini." "Wah, saya ikut bersyukur, bahagia banget mendengar berita ini, Mas," ujar saya, mulai terharu. "Saya sekarang juga mulai rutin puasa Daud, Bang." "Alhamdulillah." "Iya, Bang. Alhamdulilah. Sekarang saya mau menjalani kehidupan baru yang lebih baik. Maksiat yang dulu sering saya lakukan, biarlah itu jadi masa lalu, insya Allah tak akan saya ulangi lagi." "Alhamdulllah, Mas Dika. Saya doakan agar istiqomah, ya." "Aamiin. Tapi ada sedikit ganjalan nih, Bang." "Apa tuh?" "Di Banjarmasin, saya satu kos dengan orang-orang yang tak pernah shalat, suka mabuk-mabukan, bahkan mereka suka mencuri barang-barang saya." "Hm... itu adalah ujian bagi keimanan Mas Dika. Coba cari kos lain saja. Sebab lingkungan sangat penting agar iman kita tetap terjaga." "Iya, Bang. Sedang saya usahakan. Mohon doanya, ya." "Aamiin...." Lalu, kami terus ngobrol. Dan ketika masuk waktu Isya di Banjarmasin, Dika pamit untuk shalat berjamaah di mushalla. Setelah pembicaraan berakhir, saya tertegun, terharu, dan sejumlah perasaan lain hadir berkecamuk. 
Tiga bulan lalu, Dika masih seorang ahli maksiat yang suka mengeluh dan berputus asa. Kini, saya justru merasa bahwa kualitas imannya jauh lebik baik dibanding saya. Justru, saya merasa perlu berguru padanya. Memang benar, hidup ini seperti roda. Dulu saya merasa di atas dan Dika di bawah. Kini, justru posisi dia jauh di atas saya. Subhanallah... Saya hanya bisa berdoa, semoga Dika bisa istiqomah di jalan Allah. Doa yang sama saya tujuan untuk diri sendiri. Aamiin... Jakarta, 27 Juli 2014 29 Ramadhan 1435 H Jonru