Presiden terMiskin saat ini, bagian kisah kesederhaaan kepemimpinan islam

Montevideo - Tak banyak para pemimpin di dunia ini yang bersedia memilih bergaya hidup sederhana. Salah satu dari yang tak banyak itu adalah Presiden Uruguay, Jose Mujica (77). Kendati mengambil gaji sebagai presiden, namun dia menyumbangkan 90 persen gajinya untuk beramal. Ini membuatnya dijuluki 'Presiden Termiskin di Dunia'.

Jose Alberto Mujica Cordano, demikian nama lengkapnya, menjadi Presiden Uruguay sejak tahun 2010. Sebelumnya, mantan gerilyawan sayap kiri ini menjadi Menteri Pertanian, Peternakan dan Perikanan dari tahun 2005-2008, kemudian menjadi Senator.

Gaya hidup sederhananya menjadi sorotan dan perhatian dunia. Gaji Mujica sebagai presiden per bulan adalah US$ 12 ribu atau Rp 116 juta. Mujica mengambilnya, namun menyumbangkan 90-an persen penghasilannya untuk beramal kepada warga yang miskin dan membutuhkan. Mujica hanya menyisakan US$ 800 atau Rp 7,7 juta gajinya, nyaris seperti rata-rata pendapatan per kapita Uruguay, US$ 775 atau Rp 7,5 juta, demikian dilansir dari New York Times dan BBC.

Nah, gaya hidup seperti apa yang Mujica lakoni dari gaji yang disisakan 'hanya' US$ 800 per bulan di Uruguay?

Mujica tinggal di rumah peternakan milik istrinya di pinggiran Montevideo. Alih-alih seperti Istana, rumah peternakan ini bisa dibilang bertipe 'RSS' alias rumah sangat-sangat sederhana. Cucian tampak tergantung di luar rumahnya, tampak sumur di halaman rumahnya yang ditumbuhi rumput liar. Dari sumur itu sumber air rumah tangga Mujica terpenuhi.

Jangan bayangkan pula ada sekompi Paspampres berjaga ketat. Rumah Mujica hanya dijaga 2 orang polisi serta beberapa anjing milik Mujica, salah satunya Manuela yang berkaki tiga. Jangan bayangkan pula ada kepala pelayan atau kepala rumah tangga yang bisa melayani dan memasak apa saja seperti layaknya rumah kepala negara. 

Mujica dan istrinya bekerja sendiri memenuhi kebutuhan mereka. Termasuk menggarap tanah pertanian mereka dengan bercocok tanam bunga krisan untuk dijual. Maklum, profesi asli Mujica adalah petani.

Pada tahun 2010, saat menjadi presiden, Mujica wajib melaporkan harta kekayaannya, semacam Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) di Indonesia. Ternyata, diketahui kekayaannya berjumlah US$ 1.800 atau Rp 17,4 juta, itu pun 'hanya' nilai dari mobil VW Kodok lawas tahun 1987 miliknya.

Tahun 2012, Mujica menambahkan aset-aset milik istrinya, Lucia Topolansky, yang juga mantan gerilyawati yang sekarang menjadi Senator. Penambahan aset itu berupa tanah, traktor dan rumah hingga kekayaannya menjadi US$ 215 ribu atau Rp 208 juta.

Kekayaan ini hanya dua per tiga dari kekayaan wakilnya Danilo Astori dan sepertiga kekayaan presiden sebelumnya Tabare Vasquez.

"Saya mungkin terlihat sebagai manusia tua yang eksentrik. Namun ini adalah pilihan bebas. Saya telah hidup seperti ini di sebagian besar hidup saya. Saya bisa hidup dengan baik dengan apa yang sudah saya punya," kata Mujica seperti dilansir dari BBC.

Saat menjadi gerilyawan, Mujica memang akrab dengan lingkungan yang keras, tertembak 6 kali dan dipenjara 14 tahun. Sebagai tahanan politik, dia kemudian dibebaskan pada 1985. Tempaan hidup yang keras ini membantu membentuk pandangan dan cara hidupnya.

"Saya dijuluki 'presiden termiskin', tapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin itu adalah mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi gaya hidup yang mahal, dan selalu ingin lebih dan lebih. Ini hanyalah masalah kebebasan, jika Anda tak memiliki banyak keinginan, Anda tak perlu bekerja seumur hidup seperti budak untuk memenuhinya. Dan dengan begitu Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri," tutur Mujica.

Mujica juga seorang vegetarian, dan dia sangat mendukung kebijakan penggunaan energi terbarukan seperti tenaga angin dan biomassa. Namun ada juga kebijakannya yang kontroversial seperti legalisasi ganja dan aborsi.

Di balik kebijakannya yang kontroversial itu, sekali lagi Mujica menegaskan bahwa gaya hidup seperti ini adalah pilihan hidupnya. "Ini adalah suatu pilihan bebas," tutur pria kelahiran 20 Mei 1935 ini.

MOTIF KESEDERHANAAN

Menjadi presiden termiskin di dunia mungkin menjadi satu bentuk “penghargaan” tersendiri. Ya, dihargai karena memiliki kesan kesederhanaan, dekat dengan rakyat, dan lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Namun, “tren” ini sepertinya akan sulit dilakukan oleh kepala negara-kepala negara lainnya, selain Jose Mujica. Sebab, prestis dan “kehormatan diri” menjadi hal terpenting dalam pergaulan internasional.

Jose Mujica adalah orang kiri. Orang sosialis. Mungkin kita akan berpikir, wajar jika orang sosialis seperti itu. Sebab, ciri khas orang sosialis adalah menjadi simbol perlawanan buruh dan rakyat kecil. Maka tidak heran jika orang sosialis, lebih terlihat sederhana penampilannya daripada orang kapitalis, sekalipun memang tidak selalu demikian. Namun terlepas dari itu semua, sebagai seorang muslim yang berakidah Islam, tentunya kita menyadari bahwa seluruh amal perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban dan amal tersebut harus terikat dengan akidah Islam.

Mungkin kita bisa memberikan acungan jempol terhadap Mujica. Namun, pertanyaannya: atas dasar apa Mujica berlaku sederhana? Atau dengan pertanyaan lain: apa motif perbuatan hidup sederhana Mujica?

Jika pertanyaan ini diajukan, mau tidak mau kita akan bermuara pada tiga motif perbuatan manusia:

a. Motivasi materi atau kebendaan (quwwatul madiyah), yang meliputi tubuh manusia dan alat yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya.

b. Motivasi emosional atau nonmateri (quwwatul ma’nawiyah), yang berupa kondisi kejiwaan yang senantiasa dicari dan ingin dimiliki oleh seseorang.

c. Motivasi spiritual (quwwatur ruhiyyah), yang berupa kesadaran seseorang, bahwa dirinya mempunyai hubungan erat dengan Allah Swt.

Tiga motivasi inilah yang mampu mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan. Termasuk perbuatan si Mujica.

Jika kita perhatikan, Mujica ini bukanlah orang Islam. Maka motivasi ketiga (quwwatur ruhiyyah), jelas tidak ada padanya. Tetapi jika dilihat dari perkataannya: “Ini hanyalah masalah kebebasan, jika Anda tak memiliki banyak keinginan, Anda tak perlu bekerja seumur hidup seperti budak untuk memenuhinya.” Jelas, bahwa motif dari kesederhanaan hidupnya adalah motif yang kedua (quwwatul ma’nawiyah). Mujica menjalani hidup sederhana hanya didorong oleh motivasi umum dalam memperoleh “kebaikan”, yaitu hidup secara sederhana. Sebab, dengan hidup secara sederhana itu, dia telah merasa puas dan mendapatkan apa yang diinginkannya selama ini, yaitu “hidup sederhana”.

Jika kita mengaku beragama Islam, pantaskah kita memiliki motif perbuatan sebagaimana Mujica? Jika kita memang mengaku beragama Islam, pantaskah kita terkagum-kagum dan memuji-mujinya? Jawabannya, tentu tidak pantas. Sebab, Islam memiliki “cara yang khas” untuk bisa menjalani hidup sebagaimana yang dialami Mujica. Cara tersebut adalah dengan menerapkan akhlak Islam yang merupakan implementasi dari perintah dan larangan Allah swt.

Allah berfirman:

”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” (QS. At Takasur: 1)
”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al Israa’: 26-27)

Ayat-ayat di atas memerintahkan kaum muslim untuk hidup sederhana dan tidak menghambur-hamburkan harta.

KESEDERHANAAN RASULULLAH SAW., KEPALA NEGARA ISLAM PERTAMA

Dari Aisyah ra: “Tidak pernah kenyang keluarga Muhammad saw. itu dari roti gandum selama dua hari terus menerus, keadaan sedemikian ini sampai beliau saw. dicabut ruhnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Suatu ketika Umar mendatangi rumah Rasulullah saw. Ketika dia telah masuk ke dalamnya, dia terpaku melihat isi rumah beliau. Yang ada hanya sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk berwudhu. Keharuan muncul dalam hati Umar ra. Tanpa disadari air matanya berlinang, maka kemudian Rasulullah saw menegurnya. “Gerangan apakah yang membuatmu menangis?” Umar pun menjawabnya, “bagaimana aku tidak menangis Ya Rasulullah? Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal di tangan Tuan telah tergenggam kunci dunia Timur dan dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah.” Lalu beliau menjawab “Wahai Umar aku ini adalah Rasul Allah, Aku bukan seorang Kaisar dari Romawi dan bukan pula seorang Kisra dari Persia. Mereka hanya mengejar duniawi, sedangkan aku mengutamakan ukhrawi.

Suatu hari ‘Umar bin Khathab ra. menemui Rasulullah saw. di kamar beliau, lalu ‘Umar mendapati beliau tengah berbaring di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah lapuk. Jejak tikar itu membekas di belikat beliau, sebuah bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan jalur kulit samakan membekas di kepala beliau. Di salah satu sudut kamar itu terdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh (semacam tumbuhan untuk menyamak kulit).

Air mata ‘Umar bin Khathab ra. meleleh. Ia tidak kuasa menahan tangis karena iba dengan kondisi pimpinan tertinggi umat Islam itu. Rasulullah SAW melihat air mata ‘Umar ra. yang berjatuhan, lalu bertanya “Apa yang membuatmu menangis, Ibnu Khathab?” ‘Umar ra. menjawab dengan kata-kata yang bercampur-aduk dengan air mata dan perasaannya yang terbakar, “Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas di belikat Anda, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan Kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan manusia pilihan Allah!”

Lalu Rasulullah saw. menjawab dengan senyum tersungging di bibir beliau, “Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?”

‘Umar menjawab, “Aku rela.” (HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad)

Ingat, Rasulullah saw. bukan hanya seorang nabi. Beliau adalah seorang kepala negara. Kepala negara Islam. Namun terlihat jelas, bahwa Mujica tidak bisa dibandingkan dengan Rasulullah saw.. Mujica hidup sederhana karena ingin mengejar quwwatul ma’nawiyah, sedangkan Rasulullah saw. hidup sederhana karena landasan quwwatur ruhiyah.

KESEDERHANAAN ABU BAKAR ASSIDIQ, KEPALA NEGARA ISLAM KEDUA

Hal yang sama juga terlihat pada diri Abu Bakar Assidiq ra. ketika menjadi kepala negara Islam. Suatu hari, sesaat setelah dibaiat menjadi kepala negara Islam (khalifah), Abu Bakar hendak berangkat berdagang. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khathab. "Mau berangkat ke mana engkau, wahai Abu Bakar?" tanya Umar. "Seperti biasa, aku mau berdagang ke pasar," jawab sang khalifah. Umar kaget mendengar jawaban itu, lalu berkata, "Engkau sekarang sudah menjadi khalifah, karena itu berhentilah berdagang dan konsentrasilah mengurus kekhalifahan." Abu Bakar lalu bertanya, "Jika tak berdagang, bagaimana aku harus menafkahi anak dan istriku?" Lalu Umar mengajak Abu Bakar untuk menemui Abu Ubaidah. Kemudian, ditetapkanlah oleh Abu Ubaidah gaji untuk khalifah Abu Bakar yang diambil dari Baitul Mal.

Pada suatu hari, istri Abu Bakar meminta uang untuk membeli manisan. "Wahai istriku, aku tak punya uang," kata Abu Bakar. Istrinya lalu mengusulkan untuk menyisihkan uang gaji dari baitul mal untuk membeli manisan. Abu Bakar pun menyetujuinya. Setelah beberapa lama, uang untuk membeli manisan pun terkumpul. "Wahai Abu Bakar belikan manisan dan ini uangnya," ungkap sang istri memohon. Betapa kagetnya Abu Bakar melihat uang yang disisihkan istrinya untuk membeli manisan. "Wahai istriku, uang ini ternyata cukup banyak. Aku akan serahkan uang ini ke baitul mal, dan mulai besok kita usulkan agar gaji khalifah supaya dikurangi sebesar jumlah uang manisan yang dikumpulkan setiap hari, karena kita telah menerima gaji melebihi kecukupan sehari-hari," tutur Abu Bakar.

KESEDERHANAAN UMAR BIN KHATHAB, KEPALA NEGARA ISLAM KETIGA

Demikian pula dengan Umar bin Khathab ra. Kesederhanaannya juga mencerminkan pengamalan perintah Allah yang sangat pantas untuk diteladani. Suatu malam, Umar ra. menemukan sebuah gubuk kecil yang dari dalamnya nyaring terdengar suara tangis anak-anak. Umar mendekat dan memerhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Ia dapat melihat ada seorang ibu yang dikelilingi anak-anaknya.

Ibu itu kelihatan sedang memasak sesuatu. Tiap kali anak-anaknya menangis, sang Ibu berkata, “Tunggulah! Sebentar lagi makanannya akan matang.”

Selagi Umar memerhatikan di luar, sang ibu terus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan sebentar lagi akan matang.

Umar menjadi penasaran. Setelah memberi salam dan meminta izin, dia memasuki gubuk itu dan bertanya kepada sang ibu, “Mengapa anak-anakmu tak berhenti menangis?”

“Itu karena mereka sangat lapar,” jawab si ibu.

“Mengapa tidak kamu berikan makanan yang sedang kamu masak tadi?”

“Tidak ada makanan. Periuk yang tadi saya masak hanya berisi batu untuk mendiamkan anak-anak. Biarlah mereka berpikir bahwa periuk itu berisi makanan. Mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur.”

“Apakah kamu sering berbuat begini?” tanya Umar ingin tahu.

“Ya. Saya sudah tidak memiliki keluarga ataupun suami tempat saya bergantung. Saya sebatang kara,” jawab si ibu datar, berusaha menyembunyikan kepedihan hidupnya.

“Mengapa engkau tidak meminta pertolongan kepada Khalifah, sehingga dia dapat menolong kamu beserta anak-anakmu dengan memberikan uang dari Baitul Mal? Itu akan sangat membantu kehidupanmu dan anak-anak,” nasihat Umar.

“Khalifah telah berbuat zalim kepada saya,” jawab si ibu.
“Bagaimana Khalifah bisa berbuat zalim kepadamu?” Umar ra. ingin tahu.

“Saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya dalam kehidupan nyata. Siapa tahu, ada banyak orang yang senasib dengan saya.”

Umar berdiri dan berkata, “Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali!”

Pada malam yang telah larut itu, Umar segera bergegas ke Madinah, menuju Baitul Mal. Ia segera mengangkat sekarung gandum yang besar di pundaknya. Abbas, sahabatnya membantu membawa minyak samin untuk memasak.

Maka, ketika Khalifah Umar menyerahkan sekarung gandum yang besar kepada si ibu beserta anak-anaknya yang miskin, bukan main gembiranya mereka menerima bahan makanan dari lelaki yang tidak dikenal ini.

Umar berpesan agar ibu itu datang menemui Khalifah keesokan harinya untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal ke dalam daftar orang yang berhak menerima bantuan dari negara.

Setelah keesokan harinya, ibu dan anak-anaknya pergi untuk menemui Khalifah. Dan betapa sangat terkejutnya si ibu begitu menyaksikan bahwa lelaki yang telah menolongnya tadi malam adalah Khalifahnya sendiri, Umar bin Khattab.

Segera saja si ibu minta maaf atas kekeliruannya yang telah menilai bahwa khalifahnya zalim terhadapnya. Namun Sang Khalifah tetap mengaku bahwa dirinyalah yang telah bersalah.

Kisah lain yang menceritakan kesederhanaan Umar ra. adalah kisah berikut. Ketika Utbah bin Farqad, Gubernur Azerbaijan, di masa pemerintahan Umar bin Khathab disuguhi makanan oleh rakyatnya. Kebiasaan yang lazim kala itu. Dengan senang hati gubernur menerimanya seraya bertanya “Apa nama makanan ini?”. “Namanya Habish, terbuat dari minyak samin dan kurma”, jawab salah seorang dari mereka.

Sang Gubernur segera mencicipi makanan itu. Sejenak kemudian bibirnya menyunggingkan senyum. “Subhanallah” Betapa manis dan enak makanan ini. Tentu kalau makanan ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab di Madinah dia akan senang, ujar Utbah.”

Kemudian ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat makanan dengan kadar yang diupayakan lebih enak. Setelah makanan tersedia, sang gubenur memerintahkan anak buahnya untuk berangkat ke Madinah dan membawa habish untuk Khalifah Umar bin Khathab. Sang khalifah segera membuka dan mencicipinya. “Makanan apa ini?” tanya Umar.
“Makanan ini namanya Habish. Makanan paling lezat di Azerbaijan,” jawab salah seorang utusan.

“Apakah seluruh rakyat Azerbaijan bia menikmati makanan ini?’, tanya Umar lagi.

“Tidak. tidak semua bisa menikmatinya”, jawab utusan itu.

Wajah Khalifah Umar ra. langsung memerah pertanda marah. Ia segera memrintahkan kedua utusan itu untuk membawa kembali habish ke negrinya. Kepada Gubernurnya ia menulis surat “………makanan semanis dan selezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu! Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu!”

KESIMPULAN

Berdasarkan tulisan di atas, sebagai seorang muslim, hendaknya selalu menjadikan Islam sebagai tolok ukur perbuatan. Bukan semata-mata memenuhi keinginan diri, termasuk dalam hal ini adalah hidup sederhana.

Jose Mujica, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Rasulullah saw., Abu Bakar, atau Umar. Kisah di atas hanyalah secuil kisah kesederhanaan kepala negara Islam. Masih ada begitu banyak keteladanan yang bisa kita dapatkan. Maka, tidak pantas kiranya kaum muslim mengidolakan orang di luar Islam dalam hal menjalani hidup sederhana. Ingat, motif hidup sederhana, selayaknya tidak semata-mata atas dasar memenuhi aspek “kebaikan universal”. Namun, kebaikan perbuatan seorang muslim, ditentukan dari motif perbuatannya, apakah berdasarkan perintah dan larangan Allah atau tidak.