Review Film: The Raid ( Indonesian Movies 2012)


Sutradara asal Wales, Gareth Huw Evans, berhasil menghadirkan sebuah terobosan tersendiri bagi industri film Indonesia ketika ia merilis Merantau di tahun 2009. Tidak hanya berhasil membuktikan bahwa film action – sebuahgenre yang sering dianaktirikan dalam industri film Indonesia modern – masih memiliki tempat tersendiri di hati para penonton film Indonesia, Evans juga secara berani mengajukan seni bela diri khas Indonesia, pencak silat, sebagai bagian utama dari penceritaan Merantau. Suatu hal yang bahkan belum berani dieksplorasi secara penuh oleh para pembuat film negeri ini. Hasilnya, meskipun Merantau dipenuhi dengan deretan kekakuan yang muncul di dialog-dialognya serta jalinan kisah yang cenderung klise, film tersebut mampu meraih perhatian yang maksimal di sepanjang masa perilisannya.
Evans sepertinya masih ingin terus mengeksplorasi pencak silat dalam film-filmnya. Seperti ingin menjadikan pencak silat sebagai sebuah bentuk ikon martial arts yang mampu berdiri sejajar dengan kung-fu maupun karate di dunia perfilman, Evans kembali menjadikan pencak silat sebagai daya tarik utama bagi film keduanya, The Raid. Kembali bekerja sama dengan Iko Uwais dan Yayan Ruhian untuk menghadirkan deretan koreografi laga yang lebih epik daripada koreografi laga yang sebelumnya pernah mereka hadirkan dalam MerantauThe Raid mampu tampil brutal, keras dan jelas akan memuaskan mereka yang memang menginginkan filmnya untuk bergerak dengan tipe sejenis. Sayangnya, fokus utama Evans dalam menghadirkan koreografi laga yang mumpuni seperti menarik penuh perhatiannya dari usaha untuk memperbaiki kemampuannya dalam menuliskan naskah cerita. The Raid adalah sebuah film yang mengandalkan penuh daya tarik koreografi laga dan sisi kekerasan aksinya.
Susunan cerita? Well… The Raid berkisah mengenai sebuah tim Special Weapons and Tactics dari Indonesia yang sedang bersiap untuk menyerbu masuk ke sebuah apartemen kumuh yang berisi kumpulan kriminal kelas berat yang ada di kota Jakarta. Beberapa usaha penggerebekan telah pernah dilakukan ke dalam apartemen tersebut sebelumnya. Namun seluruhnya berakhir gagal. Tujuan utama mereka adalah menangkap raja bandar narkotika bernama Tama (Ray Sahetapy) yang berada di lantai ke-15 apartemen tersebut. Penyerangan yang berlangsung secara diam-diam tersebut dimulai secara mulus semenjak lantai pertama. Sayang, aksi tersebut kemudian tercium ketika mereka sedang berada di lantai 6. Dengan jumlah personel yang jelas berada jauh di bawah jumlah komplotan penjahat yang berada di apartemen tersebut, para anggota tim SWAT tersebut kini harus berupaya untuk mempertahankan hidup mereka setelah Tama dengan sikap arogannya menugaskan setiap orang yang berada di apartemen tersebut menghabisi nyawa para anggota tim SWAT tersebut satu persatu. Tanpa ampun.
Dua puluh anggota kepolisian elit yang secara bergerilya kemudian menyerbu masuk ke sebuah apartemen kumuh yang berisi kumpulan penjahat kelas kakap di kota Jakarta. Yang secara perlahan menjelajahi lantai demi lantai untuk akhirnya dapat menangkap satu orang penjahat utama. Jauhkan visi bahwa Gareth Huw Evans terinspirasi dari permainan video game dalam menyusun jalan ceritanya. Dengan kondisi politik yang terjadi di negeri ini, barisan premis tersebut dapat saja menjadi sebuah metafora dari bagaimana sekelompok orang taat hukum berusaha untuk membersihkan pemerintahan dari orang-orang yang selama ini selalu mengelabui dan lari dari jeratan hukum. Lantai demi lantai merupakan sebuah perumpamaan dari tingkat kesulitan yang mereka hadapi. Jika Anda mengganggap premis The Raid sebagai sebuah metafora yang melambangkan kondisi sosial politik negeri ini… maka Anda jelas berharap terlalu banyak.
The Raid sama sekali tidak berniat menghadirkan apapun dalam jalan ceritanya. Dua puluh anggota kepolisian elit berusaha menangkap seorang penjahat utama yang tinggal di sebuah apartemen kumuh namun harus melalui lantai demi lantai yang dipenuhi para penjahat kelas kakap terlebih dahulu. Itulah yang ditawarkan oleh The Raid, dan hanya itulah yang akan Anda dapatkan. Evans tidak akan membuat Anda peduli mengenai siapa saja anggota tim SWAT tersebut, siapa sebenarnya penjahat kelas utama yang sedang mereka incar, mengapa mereka dapat berada dalam kondisi yang mematikan tersebut… bahkan Anda sama sekali tidak akan peduli siapa yang akhirnya keluar dengan selamat dari apartemen neraka tersebut. Seperti yang ditunjukkan Merantau, Evans lemah dalam hal penceritaan dan karakterisasi. Lewat The Raid, Evans mampu menyembunyikan kelemahannya tersebut dengan meminimalisir plot cerita dan menghadirkan adegan aksi yang brutal dan penuh darah secara maksimal.
Kelemahan plot cerita dari The Raid sangat dapat dirasakan ketika film ini sedang melakukan jeda dari menghadirkan deretan aksi dari alur ceritanya. Menghadirkan bagian-bagian kisah seperti intrik personal yang terbentuk antara salah satu anggota tim SWAT dengan salah satu anggota kriminal dan intrik yang terbentuk antara para anggota tim SWAT maupun antara para anggota kriminal, penonton yang sedari tadi digempur dengan deretan adegan aksi dapat dengan mudah melupakan keberadaan plot ‘drama’ tersebut sembari mengambil nafas dan bersiap diri untuk kembali digempur deretan adegan aksi brutal lainnya. Jangan salah, sebagai pengobat dari alpanya eksistensi jalan cerita dari The Raid, Evans mampu menghadirkan koreografi laga yang luar biasa menarik. Koreografi laga yang dihadirkan dalam The Raidbahkan dapat digolongkan sebagai salah satu koreografi laga terbaik yang dapat disaksikan penonton di sepanjang sejarah film action dunia (!).
Oh. Mengingat bahwa koreografi laga adalah satu-satunya hal yang diutamakan dalam film ini, wajar saja jika kemampuan akting para pengisi departemen akting The Raid juga merupakan hal kesekian yang dapat dinikmatin dari film ini. Selain Ray Sahetapy, Donny Alamsyah dan Pierre Gruno, nyaris seluruh pengisi departemen akting The Raidtampil dalam kapasitas akting yang hampir dapat digolongkan sebagai penampilan yang kaku – jika tidak mau disebut sebagai mengecewakan. Iko Uwais, Yayan Ruhian dan Joe Taslim memang merupakan bintang film yang sangat brilian ketika mereka diharuskan tampil dengan koreografi laga. Namun ketika harus melafalkan dialog mereka, ketiganya tampil dengan penuh kekakuan yang cukup mengganggu. Di sisi lain, bravo Ray Sahetapy! Penampilan Ray Sahetapy dalam The Raid adalah satu-satunya penampilan akting yang paling akan diingat dari film ini.
Jangan salah. The Raid adalah sebuah film yang mengesankan. Tidak akan ada seorangpun yang akan dapat menolak fakta bahwa deretan koreografi laga yang dihadirkan Gareth Huw Evans bersama Iko Uwais dan Yayan Ruhian di film ini adalah sebuah koreografi laga yang benar-benar mempesona! Namun, fakta lain juga tidak dapat disanggah – dan tidak dapat begitu saja disingkirkan hanya karena Anda terpesona dengan kebrutalan dan simbahan darah yang hadir menyertai koreografi laga film ini. The Raid hadir dengan plot cerita dan karakterisasi yang benar-benar miskin. Begitu minimnya pengembangan plot cerita The Raid, mungkin film ini akan hadir lebih baik jika semua plot drama dihilangkan saja mengingat momen-momen drama dalam The Raid merupakan titik kelemahan terbesar yang sempat menyajikan nada kebosanan dalam alur ceritanya. Gareth Huw Evans cukup cerdas untuk menyembunyikan kelemahan plot ceritanya dalam balutan koreografi laga yang over the top. Namun, hilangkan seluruh koreografi laga dan kekerasan yang ditawarkan film ini, maka The Raid adalah sebuah film yang sama sekali tidak memiliki daya tarik apapun.
The Raid (Merantau Films/XYZ Films, 2012)
The Raid (2012)
Directed by Gareth Huw Evans Produced by Ario Sagantoro Written byGareth Huw Evans Starring Iko Uwais, Pierre Gruno, Ray Sahetapy, Joe Taslim, Tegar Satria, Verdi Solaiman, Ananda George, Eka Rahmadia, Donny Alamsyah, Yayan Ruhian, R Iman Aji Music by Aria Prayogi, Fajar YuskemalCinematography Matt Flannery Editing by Gareth Huw EvansStudio Merantau Films/XYZ Films Running time 100 minutes CountryIndonesia Language Indonesian
source: amiratthemovies.